Di Cafe itu

Aku mengintip di balik meja cafe itu.
Ditemani alunan saxophone yang genit.

Menyatu di dalam irama jazz sendu

Seakan mengajakku menikmati wajahmu lebih lama.
Kopi yang kupesan tak kunjung dingin

Seperti matamu yang masih panas mencuri pandangku.

Senyum kecilmu menggodaku terus terpaku.

Seperti menarikku mendekat ke tempatmu.
Hai nona manis, 

Siapa gerangan yang membawamu

Turun ke bumi dan singgah di cafe ini?

Sial sekali bertemu denganku,

pujangga merana yang mencari cinta.

-Dialog Imajinari-
Bogor, 28 November 2017

Kita dan Waktu

Kita yang berjalan bersama waktu

menari senang tanpa tuju

Kita yang berdiam dalam sendu

Menanti disana penuh haru

 

Wanita berharap tentang cinta

Laki laki dipegang arti setia

kita yang begitu berbeda

Berjuang dalam medan asa

 

Jika telah tiba waktunya

Kita berpeluk di hantaran waktu

Menikmati rintik hujan berdua

Hingga sedih pun enggan menjadi candu

Teruntuk Senja

Teruntuk senja..

Kau yang memiliki sinar jingga kemerahan diatas awan. Cahayamu menembus disela sela desiran angin berhembus. Ditemani burung yang terbang meninggi, menari dalam kawanan. Berhiaskan deburan ombak bermandikan riak gemericik air. Semakin menambah megahmu di penghujung waktu. Sebelum malam datang menjenguk, indahmu sementara membuat makna. Meniti pujangga pujangga penantian, yang berharap akan datangnya dirimu. Sepertiku, yang selalu setia menunggumu disini. Diujung lautan lepas tak bertepi, beralaskan pasir putih dan sebongkah koral. Menunggu dan selalu menunggu.

Teruntuk senja..

Yang datang diiringi syahdu rindu. Kisah antara dua anak manusia. Terdiam dan terjelaskan oleh rahasia. Yang hanya menjadi rahasia, sekedar rahasia. Dengan kau yang menjadi saksi, atas janji tak terucap. Mengikat dalam keabadian, walau hanya sekedar fana, tak terwujud. Mereka yang bertemu, mereka yang berpisah. Tak pernah menjadi abadi seperti kisah cinta pilu, hanya membawa haru. Tak kunjung berani, datang membawa jawaban. Mereka yang berjuang, namun berujung keikhlasan. Atas sisa sisa kenangan, terhanyut deru ombak. Kembali tenggelam di kala senja itu. Senja yang sama disaat mereka bertemu. Kini harus berpisah.

Teruntuk senja..

Teman sejati waktu sore, dengan udara segar yang menjadi sebuah alasan. Malammu kini berujung waktu. Pertanda akhir akan menyambut, dengan semua sebab manusia pergi. Mereka yang berkalang rindu, mereka yang tak bertemu. Senja tak pernah berkhianat. Sinarnya berkisah, kisah anak adam, yang menderu memanggil namamu. Tak perlu berteriak, karena lirih menjadi suara. Merintih perlahan perih, dengan nada nada sumbang penantian tak berujung. Mengiringi mereka yang berlalu, tak kembali, menjadi debu.

Teruntuk senja..

Aku mencarimu, dengan sebab ingin sejenak membunuh waktu. Memandangmu dari kejauhan, seperti kala itu, kau yang menemukanku. Mencoba mengurai pertanyaan, yang datang tak pernah henti. Silih berganti, seperti kisah tak bertemu akhir. Mungkin aku yang tak kunjung siap, atau memang hanyalah sebulir cerita yang tak pernah berbahagia. Aku dan kau yang terjebak dalam kehampaan, berulang esok dan esok. Kita yang selalu berjumpa, bertiup tanpa arah, menuju ketiadaan.

Teruntuk Senja..

Aku merindukanmu.

Arti

Kita Yang bersakit hati

Kita yang mencintai

kau melengkapi

aku mendampingi

 

tak sekedar mimpi

 

cukup sekedar dijalani

kita yang kelak mati

berkalang rindu sendiri

 

Johor Baru, 23 Agustus 2017

Negeri Pencaci

Bercaci-Maki

Hanya Bicara, tanpa arti

hiraukan saja kelak mati

Penting suka sakit hati

 

Berkata tanpa letak

telinga telinga sampai retak

mana peduli kau gertak

mana peduli kau teriak

Kita hanya air beriak

 

Johor Baru, 23 Agustus 2017

Jaya

Antara Johor dan selayang

Gempita yang terbayang

Cerita terkenang

Garuda merangkak terbang

 

Saling bercampur, satu

membakar api perlahan debu

kita yang merindu

berjaya di kala waktu

 

Johor Baru, 23 Agustus 2017

Terbang

Berdiri di atas kapas

pandangan yang pelan terhempas

Tak satu niat kularung rindu

kelak di Malaka kita bertemu

 

Burung besi terbang meninggi

Terjang sedikit menyudahi sepi

kau diujung menanti

Aku yang berlari lari

 

Antara Jakarta-Kuala Lumpur. 21 Agustus 2017

Cinta Kedai Kecil

Cinta adalah kedai kecil

seperti lorong diantara pelancong

yang terbuka untuk siapa saja

ditunggui anjing yang melolong

 

Cinta seperti kedai kecil

dengan aku yang menunggu

ditemani kopi pahit kecil

menanti siapa yang pantas dinanti

 

Boleh jadi ia berpaling

boleh jadi ia tak mengingatku

boleh jadi ia bersama yang lain

Sedang aku masih menanti di kedai kecil

Di sudut menunggunya kembali

 

Bogor, 3 September 2017

Jawaban Aliani

Anan yang malang..

Aku kira beginilah akhirnya. Kau akan segera kawin, beranak dan berbahagia. Sedangkan aku perlahan membusuk dimakan belatung, tinggal tulang dan akhirnya bersisa debu. Akulah wanita yang akan menjadi penyesalanmu, Anan. Bukan karena inginku, tapi karena nasib-lah yang mengatur demikian. Apa kuasaku, hanya seorang hamba yang meniti setiap denting waktu yang telah ditetapkan. Kebetulan saja aku bertemu denganmu, jatuh cinta dan akhirnya tenggelam dalam jurang kesedihan. Aku masih ingat dengan jelas saat langkah kakimu memasuki kedai kopi kala itu. Kau buka pintu dengan tangan berhiaskan arloji logammu, dengan rambut belah kanan yang tertata rapi dan aroma wangi bunga mawar. Tatapanmu langsung menuju mataku, seakan mengajakku untuk berhenti meracik kopi sejenak di depan mesin kotak. Entah kau memakai sihir apa, tapi aku pun terdiam memandangimu, tidak sebentar. Mata dan senyumanmu tak pernah lepas dari ingatanku, dan aku hanya mampu tersipu malu.

Tiba tiba kau datang menghampiriku, alih alih memesan secangkir kopi, kau mengajakku berkenalan. Kau sodorkan tangan hangatmu itu dan sedikit berkata, “Namaku Anan, kamu?”. “Aliani” tanpa bisa kukendalikan sunggingan senyumku. Kenapa aku harus salah tingkah didepanmu? hatiku berdesir kencang tak terarah, sensasi yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Tak ada lelaki yang mau mendekatiku Anan, karena memang aku tak pernah memikirkannya. Aku sibuk. Tapi kenapa kamu, seseorang yang antah berantah datang dalam kehidupanku? Begitu manis, begitu mendadak. Aku tak bisa berbuat banyak, kecuali jatuh dalam tatapanmu. Namun, jika aku tahu begini pada akhirnya, aku tak sudi bertemu denganmu. Tak sudi aku melihatmu, Anan.

 

Anan yang malang..

Esok kau datang lagi, esoknya, dan esoknya lagi. Sepertinya sengaja kau datang ke kedaiku setiap hari. Entah benar apa kau ingin sekedar meminum kopi, atau hanya ingin berbincang denganku. Kau datang selalu sama, dengan arloji logammu dan bau khas mawar. Menghampiriku, sekedar bertanya kabar dan berbincang hal hal tak penting. Mungkin aku yang terlalu berlebihan, tapi aku menyukai setiap kali waktu kita habiskan bersama. Hingga kau datang malam itu, menungguku selesai menutup kedai. Ditemani remang remang lampu kuning di atas meja, dan desiran angin dari pendingin ruangan yang terdengar karena tak ada lagi pengunjung. Hanya tinggal kita berdua, duduk bersama, saling menatap dan menyelami satu sama lain. Kau raih tanganku, genggaman yang hangat, dan tatapan tajammu membiusku. Tanpa sadar, sudah dekat bibirku dengan bibirmu. Kau kecup manja, tanpa berkata apa apa, tanpa permisi. Kupejamkan mataku, merasakan pelukanmu dan manisnya bibirmu. Kita tenggelam Anan, seperti symphony Banda Neira yang akan menjanjikan selamanya bersama. Waktu perlahan terhenti, dan kita kembali terdiam. Sekedar tersenyum, kau mengantarku pulang. Sekali lagi, kecupan hangat sebelum kita berpisah malam itu.

 

Anan yang malang..

Setelah malam itu, kenapa kau tak kunjung datang? Sosokmu menghilang bak ditelan bumi. Tak ada kabar, tak ada pesan. Di kedai yang sama, dengan aroma kopi yang selalu sama, aku menantimu masuk dari pintu itu. Aku menanti sosok laki laki berarloji logam dan aroma mawar masuk dalam kedaiku. Sehari, dua hari, seminggu, sebulan, lama sekali kau tak ada kabar. Tahukah kamu Anan, kau begitu kejam menyiksaku. Menyiksaku dalam penantian tak berujung. Kecupanmu seakan masih membekas di bibirku, memberiku pengertian kelak kau akan kembali. Aku masih menanti disini, di depan mesin kotak peracik kopi. Mengharap kita kan bertemu lagi, berjumpa dan bercerita apa saja. Hingga akhirnya aku menyadari.. ternyata kau tak seindah itu.

Sekelompok wanita datang ke kedaiku. Mereka tertawa, terlihat bahagia karena diantara mereka ada yang telah dilamar. Dari gayanya, sepertinya mereka wanita yang berada dan dari kalangan terhormat. Dengan bangganya, dia memamerkan cincin emas yang menghiasi jari manisnya sambil melihatkan foto laki laki yang telah meminangnya. Tanpa sengaja aku melirik melihat foto itu, ternyata itu fotomu Anan. Foto laki laki yang telah mencuri ciumanku malam itu. Laki laki yang memegang hangat tanganku, memelukku dan mengantarku pulang. Ternyata kau!! laki laki yang telah melamar wanita itu dan bukannya aku. Kenapa aku begitu bodoh, mana mungkin aku bisa bersanding denganmu, wanita biasa saja yang meracik kopi untuk orang lain, bagaimana mungkin aku bisa disandingkan dengannya, kenapa aku begitu bodoh jatuh dalam rayuanmu? kenapa aku mau membiarkan kau masuk dalam kehidupanku? Dunia terasa runtuh Anan, seketika. Aku linglung, aku bingung. Aku bukan wanita yang mudah jatuh cinta, dan kini aku jatuh cinta pada laki laki yang tak semestinya aku cintai. Kenapa harus kamu, Anan?

Selebihnya kau sudah tau ceritanya Anan. Malam yang membuatku bingung, hingga melamun tak tentu arah. Akhirnya terjadilah, tubuhku bertemu maut lebih dulu, kendaraanku tak bisa kukendalikan. Pikiranku entah kemana, tak kusadari ada mobil dipersimpangan. Dan kini aku tergolek lemas meregang nyawa hingga tertutupi tanah kemudian.

Kita yang bertemu dalam ketiadaan. Kita yang bertemu dalam rahasia. Hanya aku dan airmata mungkin yang mengerti betapa berartinya dirimu. Namun kau hanya meninggalkan haru dalam hidupku. Aku memanggilmu, disaat sepertiga nafas terakhirku, apa daya kau tak kunjung datang. Pada akhirnya, akulah yang menanggung derita, dari pengharapanku padamu. Seperti bertanya pada gunung dan laut yang tak memiliki rasa. Aku yang mencintaimu, namun entah bagaimana denganmu. Tapi aku percaya, kecupan hangat tulus dariku akan selalu berbekas, dan kelak kau akan mengerti walaupun semua telah terlambat. Anan, hiduplah dengan penyesalan itu.

Aku, kisah tak terucap sisa sisa keikhalasan yang tak diikhlaskan.

 

Aliani.