Anan yang malang..
Aku kira beginilah akhirnya. Kau akan segera kawin, beranak dan berbahagia. Sedangkan aku perlahan membusuk dimakan belatung, tinggal tulang dan akhirnya bersisa debu. Akulah wanita yang akan menjadi penyesalanmu, Anan. Bukan karena inginku, tapi karena nasib-lah yang mengatur demikian. Apa kuasaku, hanya seorang hamba yang meniti setiap denting waktu yang telah ditetapkan. Kebetulan saja aku bertemu denganmu, jatuh cinta dan akhirnya tenggelam dalam jurang kesedihan. Aku masih ingat dengan jelas saat langkah kakimu memasuki kedai kopi kala itu. Kau buka pintu dengan tangan berhiaskan arloji logammu, dengan rambut belah kanan yang tertata rapi dan aroma wangi bunga mawar. Tatapanmu langsung menuju mataku, seakan mengajakku untuk berhenti meracik kopi sejenak di depan mesin kotak. Entah kau memakai sihir apa, tapi aku pun terdiam memandangimu, tidak sebentar. Mata dan senyumanmu tak pernah lepas dari ingatanku, dan aku hanya mampu tersipu malu.
Tiba tiba kau datang menghampiriku, alih alih memesan secangkir kopi, kau mengajakku berkenalan. Kau sodorkan tangan hangatmu itu dan sedikit berkata, “Namaku Anan, kamu?”. “Aliani” tanpa bisa kukendalikan sunggingan senyumku. Kenapa aku harus salah tingkah didepanmu? hatiku berdesir kencang tak terarah, sensasi yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Tak ada lelaki yang mau mendekatiku Anan, karena memang aku tak pernah memikirkannya. Aku sibuk. Tapi kenapa kamu, seseorang yang antah berantah datang dalam kehidupanku? Begitu manis, begitu mendadak. Aku tak bisa berbuat banyak, kecuali jatuh dalam tatapanmu. Namun, jika aku tahu begini pada akhirnya, aku tak sudi bertemu denganmu. Tak sudi aku melihatmu, Anan.
Anan yang malang..
Esok kau datang lagi, esoknya, dan esoknya lagi. Sepertinya sengaja kau datang ke kedaiku setiap hari. Entah benar apa kau ingin sekedar meminum kopi, atau hanya ingin berbincang denganku. Kau datang selalu sama, dengan arloji logammu dan bau khas mawar. Menghampiriku, sekedar bertanya kabar dan berbincang hal hal tak penting. Mungkin aku yang terlalu berlebihan, tapi aku menyukai setiap kali waktu kita habiskan bersama. Hingga kau datang malam itu, menungguku selesai menutup kedai. Ditemani remang remang lampu kuning di atas meja, dan desiran angin dari pendingin ruangan yang terdengar karena tak ada lagi pengunjung. Hanya tinggal kita berdua, duduk bersama, saling menatap dan menyelami satu sama lain. Kau raih tanganku, genggaman yang hangat, dan tatapan tajammu membiusku. Tanpa sadar, sudah dekat bibirku dengan bibirmu. Kau kecup manja, tanpa berkata apa apa, tanpa permisi. Kupejamkan mataku, merasakan pelukanmu dan manisnya bibirmu. Kita tenggelam Anan, seperti symphony Banda Neira yang akan menjanjikan selamanya bersama. Waktu perlahan terhenti, dan kita kembali terdiam. Sekedar tersenyum, kau mengantarku pulang. Sekali lagi, kecupan hangat sebelum kita berpisah malam itu.
Anan yang malang..
Setelah malam itu, kenapa kau tak kunjung datang? Sosokmu menghilang bak ditelan bumi. Tak ada kabar, tak ada pesan. Di kedai yang sama, dengan aroma kopi yang selalu sama, aku menantimu masuk dari pintu itu. Aku menanti sosok laki laki berarloji logam dan aroma mawar masuk dalam kedaiku. Sehari, dua hari, seminggu, sebulan, lama sekali kau tak ada kabar. Tahukah kamu Anan, kau begitu kejam menyiksaku. Menyiksaku dalam penantian tak berujung. Kecupanmu seakan masih membekas di bibirku, memberiku pengertian kelak kau akan kembali. Aku masih menanti disini, di depan mesin kotak peracik kopi. Mengharap kita kan bertemu lagi, berjumpa dan bercerita apa saja. Hingga akhirnya aku menyadari.. ternyata kau tak seindah itu.
Sekelompok wanita datang ke kedaiku. Mereka tertawa, terlihat bahagia karena diantara mereka ada yang telah dilamar. Dari gayanya, sepertinya mereka wanita yang berada dan dari kalangan terhormat. Dengan bangganya, dia memamerkan cincin emas yang menghiasi jari manisnya sambil melihatkan foto laki laki yang telah meminangnya. Tanpa sengaja aku melirik melihat foto itu, ternyata itu fotomu Anan. Foto laki laki yang telah mencuri ciumanku malam itu. Laki laki yang memegang hangat tanganku, memelukku dan mengantarku pulang. Ternyata kau!! laki laki yang telah melamar wanita itu dan bukannya aku. Kenapa aku begitu bodoh, mana mungkin aku bisa bersanding denganmu, wanita biasa saja yang meracik kopi untuk orang lain, bagaimana mungkin aku bisa disandingkan dengannya, kenapa aku begitu bodoh jatuh dalam rayuanmu? kenapa aku mau membiarkan kau masuk dalam kehidupanku? Dunia terasa runtuh Anan, seketika. Aku linglung, aku bingung. Aku bukan wanita yang mudah jatuh cinta, dan kini aku jatuh cinta pada laki laki yang tak semestinya aku cintai. Kenapa harus kamu, Anan?
Selebihnya kau sudah tau ceritanya Anan. Malam yang membuatku bingung, hingga melamun tak tentu arah. Akhirnya terjadilah, tubuhku bertemu maut lebih dulu, kendaraanku tak bisa kukendalikan. Pikiranku entah kemana, tak kusadari ada mobil dipersimpangan. Dan kini aku tergolek lemas meregang nyawa hingga tertutupi tanah kemudian.
Kita yang bertemu dalam ketiadaan. Kita yang bertemu dalam rahasia. Hanya aku dan airmata mungkin yang mengerti betapa berartinya dirimu. Namun kau hanya meninggalkan haru dalam hidupku. Aku memanggilmu, disaat sepertiga nafas terakhirku, apa daya kau tak kunjung datang. Pada akhirnya, akulah yang menanggung derita, dari pengharapanku padamu. Seperti bertanya pada gunung dan laut yang tak memiliki rasa. Aku yang mencintaimu, namun entah bagaimana denganmu. Tapi aku percaya, kecupan hangat tulus dariku akan selalu berbekas, dan kelak kau akan mengerti walaupun semua telah terlambat. Anan, hiduplah dengan penyesalan itu.
Aku, kisah tak terucap sisa sisa keikhalasan yang tak diikhlaskan.
Aliani.